Hari itu aku melihatmu kesakitan, mendengarkan setiap jeritan yang terdengar darimu. Batapa hancurnya aku saat kau mengerang kesakitan, betapa runtuhnya aku saat kau menggenggam bajuku. Meski kau tahu cengkraman itu takkan pernah membuat rasa sakitmu tak berhenti. Segalanya membuatku ingin menumpahkan air mataku.
Tidak, aku takkan meluapkannya, aku akan tegar untuk menopangnya. Saat aku memutuskan untuk di sampingnya, aku akan menjadi kuat. Itulah janjiku saat itu.
###
"Hai," aku terpaku dan hanya bisa mengatakan itu. Apa itu terlihat jelas? Doni memiringkan kepalanya sedikit dan akan bertanya lagi, sebelum aku memotong, "Mau sandwich?" dengan menunjukkan kotak makanan di depannya.
Doni mengangguk mentakan iya, "Masuklah, aku akan membuatkan teh bunga kesukaanmu."
Doni membuka pintu dan aku mengikutinya dari belakang menuju ruangan yang sudah tidak asing lagi bagiku. Ruang makan yang terdapat satu set meja kursi terbuat dari kayu antik, di pojok ruangan terdapat piano lama yang sering dimainkan bersama denganku ketika kecil. Sedikit mengenang masa lalu membuatku menarik ujung bibirku ke atas.
"Duduklah, dan aku akan buatkan teh," dengan menunjuk kursi antik di depan bar dapur.
Rumah ini masih sama seperti terakhir kali aku mengunjunginya. Sangat nyaman dan menyenangkan bisa mengenang masa lalu yang indah itu. Aroma rumah yang lebih didominasi pelitur kayu dari perabot rumah sangat menenangkan. Sebenarnya, rumah ini bergaya modern, tapi dengan sentuhan klasik bisa membuat rumah tampak indah. Arsitek pembuat rumah ini patut untuk dipuji, yaitu ayah Doni.
"Bagaimana kabar ayahmu?" tanyanya mengingat masa lalu membuat banyak pertanyaan yang muncul.
"Baik," jawabnya singkat sambil menuangkan air panas di teko yang sudah diisi bunga kering. Bau teh mulai tercium, wangi.
Aku mulai sedikit kaget dengan sikapnya itu. Setelah sekian lama tidak bertemu dia hanya mengucapkan satu kalimat dan dua kata, mengejutkan. Ada apa dengannya? Apa yang terjadi pada Doni Herlambang yang aku kenal, Doni yang selalu tersenyum saat menangis, Doni yang selalu ingin terlihat kuat. Sekarang begitu dingin dan sangat datar juga tidak menyenangkan, pastinya. Tapi aku masih belum ingin menanyakannya.
Dia menuangkan air teh ke dalam gelas kecil dan menyodorkan gelas ke arahku. Sedangkan aku membuka kotak bekal yang berisi sandwich.
"Chamomile," seruku disertai senyum kegembiraan yang meluap. "Bagaimana kabarmu sendiri?"
"Baik," jawabnya singkat lagi, lalu dia menyesap tehnya, "Entah bagaimana, kau bisa menyukai teh dengan rasa aneh seperti ini," terusnya dengan mata sinis dan memincingkan sebelah bibirnya.
"Hahahaha," aku tertawa terbahak-bahak. Dia Doni, Doni Herlambangku. "Dan entah bagaimana, kenapa kau meminumnya? Mau sendwich?"
Tanpa kata-kata dia mengambilnya, dan memakannya tanpa berkata-kata lagi.
Keheningan hampir 2 menit itu, membuat kami melamunkan masa-masa dulu, mungkin dia juga. Terlihat matanya menerawang jauh di taman hijau dengan 7 patung kurcaci dan batu besar, tempat kami biasa bermain. Halaman rumah Doni memang sangat luas untuk berlarian, membuat pesta kecil seperti membakar jagung dan barbeque. Tidak jarang kami bersepeda di halaman itu meski kami pernah dimarahi oleh Ny. Herlambang karena merusak satu patung kurcaci, Doni menabrak patung itu hingga terjungkal. Sedikit terkekeh mengenang itu, memandang patung yang masih rusak itu, lalu beralih ke Doni, tatapannya sedih.
"Kapan kau kembali kemari? Dan kenapa kau tidak memberitahuku bahwa kau kembali? Dan kenapa kau kembali?" tanyaku menderet hingga aku tersengal di akhir kalimat.
"Apa aku harus menjawabnya sekarang?" tanyanya kembali, sedikit memincingkan alis kirinya.
Aku hanya tersenyum, memberi kesempatan agar Doni menjawab semuanya.
"Kau masih sama saja. Suka ikut campur urusan orang lain. Aku datang malam lusa kemarin, lalu sedikit mengalami jetlag, jadi aku memutuskan untuk beristirahat selama sehari. Dan ini masih jam 6 pagi, apa aku harus ke rumahmu sepagi ini?" jawabnya panjang.
Aku terkekeh, mendengar penjelasan yang diakhiri pertanyaan itu.
"Lalu bagaimana kau tahu aku ada di rumah?"
"Ah," mengingat lagi kejadian tadi malam. Saat dia berjalan pulang dari tempat kerjanya melewati rumah ini. Dia melihat lampu kamar menyala yang langsung mengembangkan senyumannya. Aku ingin sekali memencet bel rumah, tapi itu sudah malam dan aku hanya berdiri sekitar sejam di pintu gerbang. "Aku melihat nyala lampu kamar tamu malam kemarin," jawabku singkat.
Comments
Post a Comment