Skip to main content

First Sight

Hujan rintik. Aku termenung di jendela dengan tirai bermotif bunga matahari, motif cerah di hari kelabu. Aku memandang jauh ke langit, melihat abu-abu terbentang hingga horizon. Matahari tak tampak, mengintip pun tidak. Aku terduduk di jendela, mendengarkan rintik hujan yang mulai turun, tanda keras bahwa hari ini matahari takkan muncul sekalipun.

Malam pun datang, mencoba membawa bulan, tapi percuma abu-abu itu masih bertengger di langit, tak membiarkan cahaya bulan masuk sedikit pun. Aku masih termangu di dekat jendela, duduk terdiam memandang latar halamanku yang basah karena rintik hujan di sore tadi. Langit hari ini benar-benar tak berekspresi sama sekali.

Rasa dingin mulai menjangkiti kulitku, aku berdiri dan berjalan ke arah kasur untuk mengambil selimut tebal bewarna kuning, kulilitkan ke tubuhku yang mulai kedinginan, lalu aku berjalan menuju jendela. Terduduk mendekap kaki dan mencoba menahan rasa dingin yang masuk melalui jendela kaca itu. Dengan kamar dalam keadaan tetap gelap, aku masih memandang ke atas, memandang jarak yang jauh  antara bumi dan langit.

Masih memandang ke langit yang sama, tapi kali ini aku menyadari sesuatu, kaca di jendela itu memantulkan wajahku. Wajah yang lesu dan kusam, wajah yang hampir tiga hari tidak terkena air, sayu  karena terlalu banyak menangis, lukisan hitam di sekeliling mataku, dan lekukan kantung mata di bawah mata terlihat jelas juga rambut yang diikat ala kadarnya sudah berantakan karena sering kumainkan hingga berantakan.. Hampir tiga hari aku tidak bisa memejamkan mataku dengan benar.

Setiap aku tertidur, aku selalu memimpikan hal buruk, jadi aku memutuskan untuk tidak menuntup mataku. Ketakutanku sangat terlihat jelas saat aku menutup mataku. Aku takut untuk menatapnya, aku takut menghadapinya, aku takut merasakannya. Tanpa mengucapkan sesuatu yang egois, aku menatap dengan tajam, menghindari tatapan mata itu, karena aku tak ingin mendengarkan lagi. Dalam ketakutanku, aku hanya memandang langit dan terpuruk di dekat jendela.



Tatapanku yang masih belum berpaling dari kaca. Pakaian hitam one piece tiga hari lalu masih melekat di tubuhku, pita hitam di dada kiri sudah berantakkan tak berbentuk bunga lagi, pakaian yang lusuh itu menampakkan sudah dipakai selama beberapa hari, dan diacak-acak oleh tanganku sendiri. Kaos kaki hitam dengan renda yang sempel masih merekat di kakiku, Kaos kaki di bawah lutut sudah turun hingga mata kaki. Orang yang kulihat di kaca itu seperti bukan aku.

Aku mengubah pemandanganku ke arah kamar yang tertata sangat rapi kecuali kamar tidur. Kamar itu seperti sudah tidak disentuh selama beberapa hari. Mengalihkan pandangan ke meja belajar, sebuah album foto bertengger rapi di meja. Tak ingin kusentuh sedikit pun, tak ingin kulihat, meski rasa ingin tahuku muncul beberapa saat.

Rasa ingin tahu itu membuatku berjalan ke arah meja itu, jalanku tersendat sebuah bola basket yang tak sengaja kutendang. Bola basket itu terlihat kotor dan mulai memudar warna aslinya, sering dimainkan di lapangan. Aku tak mengambilya, kubiarkan bergulir mengitu alurnya, kemudian terlihat tulisan menggunakan spidol hitam, sebuah tanda tangan besar terpampang, dan inisial R.D. Nama yang tak ingin kudengarkan lagi.

Perkenalan pertamaku dengan R.D, yaitu Rio Dewantara karena bola basket itu. Aku sedang bermain di lapangan dekat rumahku karena aku sangat bosan berada di rumah. Melempar bola basket ke ring basket, tidak masuk malah terkena Rio. Rio yang saat itu lewat dan terkena lemparan tidak marah, tapi tersenyum dan mengajariku bermain basket, seperti dia mengajariku sebuah arti hidup.

Kami mulai bersahabat baik. Dia mengajarkan arti hidup untuk bahagia. Aku yang tidak bangga akan kehidupanku, aku yang hanya bisa melarikan diri dari kehidupanku, aku yang sangat ingin mengakhiri hidupku.

Aku melanjutkan jalanku ke meja belajar itu, saat aku mengambil album itu terlihat bekas luka yang takkan pernah hilang. Bekas sayatan di tangan kiri itu masih tampak jelas, segaris dua centimeter. Pandanganku semakin buram saat memandang luka itu. Luka kehidupanku yang tak bisa terhapuskan. Luka yang tak bisa pergi dari memoriku.

Hidupku yang penuh pertengkaran antara orang tuaku. Ayah seorang pemabuk dan ibu seorang pekerja malam. Ayah yang tidak bisa disebut ayah, ayah yang hanya pulang untuk meminta uang. Bahkan kukira dia tidak tahu bahwa anaknya sudah besar. Ibu yang tidak mengharapkanku, ibu yang terpaksa melahirkanku, ibu yang tidak pernah menganggap diriku, apa itukah seorang ibu? Apa itu yang bisa disebut keluarga? Apa yang bisa kulakukan ketika sudah kehilangan harapan hidup?

Saat aku tertekan karena pertengkaran kedua orang itu yang menyangkutpautkan namaku di dalamnya. Aku mencoba mengakhiri hidupku saat itu, mencari apapun yang ada di dekatku untuk memutus tali nadi kehidupanku. Beban berat yang kurasakan saat itu adalah beban yang sudah tak bisa kutampung sendiri. Aku berpikir keras dan menimbang gunting yang kupegang. Diriku dalam diriku mulai berbisik-bisik, pertengkaran dalam diriku membuatku semakin tertekan. Darah mulai keluar deras di rumah yang sepi dan ingin kutinggalkan. Aku mulai kehilangan kesadaranku.

Saat aku bangun, aku tersadar di ruangan yang penuh dengan warna putih, ruangan sepi itu hanya menyisakan aku dan 2 orang di ujung ruangan. Di dekatku terdapat sebuah jendela yang menghadap langit yang cerah. Pandanganku masih belum terfokus, aku mendengar suara yang kukenal, Rio. Saat aku memandang ke arah suara itu, aku melihat Rio bercakap-cakap dengan suster, terlihat sangat akrab.

Rio menghampiriku dan menanyakan keadaaku, "Nana, bagaimana keadaanmu?"
Pertanyaan itu seperti sebuah surga bagiku, suara malaikat yang sangat kuharapkan. Terasa hangat yang keluar dari mataku, membuat Rio sedikit cemas. Rio, seorang laki-laki yang cukup kurus, wajah tirus, mata lebar, rambut mohack, pakaian yang sedikit kebesaran, suka memakai celana atlit basket, sepatu basket, dan aksesoris basket lainnya, tapi bukan pemain basket. "Rio, kumohon! Bawa aku pergi dari tempat itu!" pintaku padanya penuh harap. Hanya padanya aku bisa memohon bantuan, aku tidak punya teman lain, atau tidak ada orang yang mau berteman denganku selain Rio.
Rio hanya tertunduk sebentar dan mengangguk pelan. Sorenya dia pergi, malamnya dia membawa koper besar berisi barang-barangku. Aku melihat luka lebam di mata kiri Rio saat itu, setelahnya aku tidak melihat Rio selama satu minggu.

Satu minggu kemudian aku baru bertemu dengannya, keadaanku mulai membaik. Rio mengajakku ke sebuah kos-kosan di dekat tempat kos-nya. Saat itu aku tidak memiliki uang utuk membayarnya, jadi Rio yang membayarnya selama dua bulan. Selama satu bulan aku sudah mendapatkan pekerjaan di sebuah supermarket 24 jam dan pom bensin. Kami menjadi sangat dekat, sahabat yang takkan terpisahkan. Dan aku menganggapnya sebagai malaikatku.

Satu tahun aku tinggal di kos-kosan ini, aku membayarnya dengan gajiku. Kehidupan baruku, dimulai saat itu. Aku yang saat itu menyayat tanganku sekarang menjadi manusia yang terlahir kembali, itulah yang dikatakan Rio padaku. Aku menyeka air mata yang sampai di mulutku, airnya terasa asin, tapi air mata itu semakin deras.

Aku membalik sampul pertama album foto itu, sebuah foto terpampang di sana, fotoku dan Rio saat camping di puncak, piknik di pantai, makan di restoran, dan banyak foto kenangan lain. Di akhir foto itu terletak foto ayah dan ibu Rio yang sudah meninggal. Aku mengambilnya, dalam hati aku membayangjan kedua orang tua yang bisa melahirkan anak sebaik itu. Tapi kenapa orang sebaik itu lebih cepat pergi meninggalkan dunia ini.

Saat aku mambalik foto itu, tertulis "Kehilangan bukanlah pemisah kehidupan". Tulisan tangan Rio bertengger apik di benakku. Rio mengatakan pada dirinya sendiri bahwa kehilangan bukanlah hal yang pantas untuk ditangisi. Jarak kehidupan dengan kehilangan memang sangat dekat, tapi hidup takkan bisa pergi darinya. Kehilangan akan datang kapan pun karena itu penting untuk membentuk kehidupan baru. Rasa sesak di dadaku terhenyak saat mengatakan kata-kata itu, kata-kata yang diucapkan Rio padaku di bulan-bulan dia harus terbaring di ranjang rumah sakit.

Rio, malaikatku itu terbaring karena penyakit AIDS yang ia dapatkan dari temannya yang memaksa penggunaan obat terlarang menggunakan jarum suntik. Namun, Rio adalah orang yang cukup untuk membiayai pengobatannya. Warisan dari sang ayah cukup membiayai kehidupannya. Rio tak lupa untuk menyisihkan ke orang-orang yang senasib dengannya.

Rio, selamat jalan! Kau pergi untuk menggapai kehidupan baru yang lebih indah. Rio, sampai ke perkenalan berikutnya! Meski kau tak ada disini, meski jarak bumi dan langit begitu jauh, meski kau hilang dari sisiku di saat aku mulai menganggapmu lebih dari sahabat. Perkenalan denganmu adalah anugerah terbesarku untuk menggapai kebahagiaan yang kau beri. Tanpa kusadari rasa ku pada kehidupan berubah, aku mulai mencintai kehidupanku.

Di sebelah album foto itu terdapat surat rumah yang tidak kusentuh sama sekali selama tiga hari. Rumah milik Rio yang diberikan padaku. Aku menangis sekeras-kerasnya saat itu, merasa lega karena aku sudah menangis. Padahal aku akan melakukan kesalahan yang lama, tapi Rio, kau menyelamatkanku lagi. Meski kau sudah pergi, kau menyelamatkanku lagi, Terima kasih!

Aku menatap keluar jendela, menatap langit yang masih abu-abu. Aku tak salah jika mengharapkan pelangi muncul setelah hujan. Aku tak salah jika melihat sedikit cahaya mengintip dari lubang awan abu-abu. Apa salahnya?


Judul : First Sight
Author : Ludia MP
Theme Song : YUI - Separation
Keywords : Perkenalan, rasa, hilang, jarak, pergi.
Project : @YUI17Melodies, #MelodiHijauOranye


Comments

Popular posts from this blog

New Cover | Estuary (The Star Lily Lake)

↑ Full Version ↑ ↑ Front Cover Only ↑ More info: © photo to the artist Edited by M.P Use PhotoScape

Hal yang kusukai

Aku sangat menyukai langit cerah di malam hari Setelah hujan seharian. Hal itu mengingatku pada diriku saat kecil Yang masih sangat polos. Sekalipun hanya kata sederhana yang bisa kulontarkan "Indah" Tanpa perlu memikirkan masa depan Apa yang akan terjadi esok Apa kata orang Apa aku berhak hidup Hari ketika aku menangis seharian Dan langit malam itu sanggup membuatku tersenyum Namun itu juga mengingatkanku pada malam Saat aku bertanya pada diriku "Apakah ada dunia tanpa diriku?" "Akankah itu lebuh baik?" Aku merindukanmu bukan karena aku mencintaimu Aku merindukanmu karena kau mengingatkan diriku Yang dengan sederhananya melambaikan tangan padamu Untuk mengucapkan selamat tinggal pada masa terbaikku Ditulis tanggal 05 April 2019

Bangku Taman, 1 Juli

Jalan sepi yang lenggang itu, dengan paving abu-abu yang mulai berlubang. Jalan ini selalu tampak sepi, jarang ada orang yang melewatinya apalagi ketika hujan bahkan petugas kebersihan pun jarang membersihkan jalan ini. Tidak heran, jalan ini sepi karena terletak di bagian paling pojok sebuah taman. Daun-daun yang berserakan yang hampir tiga hari tidak dibersihkan. Meski jarang dilewati bagian taman ini sangat indah, terdapat pohon maple besar  di setiap sisi-sisi jalan, hamparan rumput hijau yang bersanding dengan berbagai macam bunga, seperti mawar, aster, gerbera, iris, dan lily. Ada juga sebuah sisi dengan deretan bunga matahari. Saat musim semi tiba, hijau dedaunan akan nampak sangat indah, daun yang bertebangan karena musim semi seperti hujan hijau yang tampak indah. Ketika malam tiba, dari taman bagian ini juga bisa melihat berbagai rasi bintang. Taman ini hanya diterangi beberapa lampu taman, sehingga cahaya bintang akan terlihat berkelip indah. Di bawah sebuah pohon mapl