Skip to main content

Feverfew From Mother


Feverfew From Mother 
                        
           Malam ini seperti malam-malam sebelumnya, dengan bulan penuh tanpa bintang-bintang. Kuingin melihat bintang-bintang yang akan selalu berkedip padaku tanpa kuminta. Meski ada bulan, bulan yang kulihat hanyalah bulan pucat yang tak begitu menyinari malamku. Kuingin melihat bulan yang tersenyum indah yang akan memecah malam kesepianku.
           Walau kutahu permintaanku tidak akan terkabul dengan ibu yang protektif dan yang terlalu melindungiku. Kutahu dia melakukan hal itu karena sayang padaku, tapi aku sudah dewasa  untuk melakukan apa yang kuinginkan sekarang.

           Aku tahu memang berat jadi single parent, kadang-kadang aku merasa kasihan kepada ibuku yang harus melakukkan berbagai hal untuk membuatku betah dengannya. Sering kali aku yang memasak makan malam ketika ia pulang malam. Aku tak bisa melakukkan banyak hal yang berguna baginya jadi aku selalu mematuhinya agar tidak menambah beban baginya.
           Malam ini, aku sedang menunggunya pulang dari pekerjaannya. Aku menunggu di teras rumah untuk melihat mobilnya yang akan belok lewat pertigaan yang sedang kulihat sejak tadi dengan melamun. Aku sedikit cemas karena sudah hampir satu jam aku menunggu di teras tapi tak melihat mobil ibuku sama sekali. Seharusnya dia sudah datang dua jam yang lalu.
           Aku melihat jam tanganku yang lebih membuatku kaget bukannya tenang, sekarang sudah hampir jam sebelas malam tapi ibu belum terlihat. Aku berpikir untuk masuk dan tidur lebih dulu, tapi aku tetap cemas. Aku yakin aku tidak bisa tidur dalam keadaan cemas jadi kuputuskan untuk tetap menunggu di teras rumah.
           Hampir satu jam berikutnya aku menunggu ibu di teras hingga aku hampir teridur di sana. Tapi suara telepon di ruang keluarga membangunkanku dari rasa kantukku.
           Aku berlari menuju pesawat telepon, berharap ibu yang menelepon.
           Ketika kuangkat, aku bersyukur bahwa ibuku yang menelepon."Hana?"panggilnya cemas juga seperti aku.
           "Iya, Mom," jawabku dengan sedikit menyembunyikan rasa kawatirku agar ibuku tidak mencemaskanku.
           "Kau belum tidur, Nak?" tanya ibuku dengan nada kecemasan dalam suara lembut di suaranya.
           "Iya,"jawabku singkat.
           "Apa kau menunggu ibu?"
           "Iya."
           Ibu terdiam di seberang telepon, membuatku bingung.
           "Mom, kapan pulang?" tanyaku yang terdengar sangat cemas padahal aku berusaha untuk menyembunyikannya.
           "Maaf, ibu pulang terlambat. Ibu akan segera pulang. Tapi kau tidur saja, kalau sudah lelah?"
           "Baik," seperti biasa aku menuruti tawaran ibuku. Walau jarang sekali ibu memberi penawaran bukan perintah, ini membuatku semakin cemas. "Mmm, tapi mungkin aku menunggu ibu saja. Boleh, kan?"
           Kedengarannya ibu sedikit berpikir di seberang,"Terserah kau, tapi jangan paksakan dirimu! Ibu takut kamu sakit. Ibu sayang padamu."
           "Aku tidak memaksa, Mom. Aku juga sayang Mom."
           Setelah ibu menutup telepon, aku langsung menyalakan televisi yang sudah berada dekat denganku. Tidak ada acara yang bagus, tapi setidaknya aku menemukan film yang cukup bagus di antara stasiun televisi yang siarannya tidak jelas, menurutku.
           Aku bersandar di sofa depan televisi, dengan mencoba menfokuskan diri kepada filmnya, aku masih berpikir tentang kedatangan ibu. Huh, kapan ibu pulang, ya?
           Saat memulai lamunanku, tiba-tiba suara pintu di buka membuatku membatalkan lamunanku. Aku berlari tergesa-gesa karena kecemasanku akan menghilang ketika melihat orang yang akan membuka pintu itu.
           Akupun tersenyum riang melihat ibu meskipun wajah ibu terlihat pucat karena kelelahan. Ketika ibu melihatku, dia langsung memelukku. "Hana, kau belum tidur?" tanyanya dengan sedikit cemas.
           "Aku menunggu Mom pulang," jawabku kekanak-kanakkan untuk menyembunyikan kelelahanku.
           "Maaf, ibu terlambat. Tadi di kantor ada sedikit masalah, jadi ibu harus menyelesaikannya dulu,"sahutnya untuk menenangkan kecemasanku."Kalau begitu, sekarang ayo tidur, kamu terlihat lelah."
           " Mom, malam ini, gimana kalau Mom menemaniku tidur?"
           "Mm, baiklah. Kamu tunggu ibu di kamarmu, ibu mau mandi dan ganti pakaian sebentar. Oh ya, kenapa tiba-tiba ingin ibu temani?"
           Sebenarnya aku ingin mengutarakan langsung kepada ibuku bahwa aku ingin ia temani karena perasaanku yang sedang tidak enak tentang ibuku. Rasanya seakan-akan malam ini adalah malam yang paling berarti bagiku untuk bertemu dengannya. Dan malam ini akan menjadi malam yang paling berharga bagiku. Aku tak bisa mengatakan kecemasan utamaku padanya, jadi aku hanya bisa menjawab,"Oh, aku cuma ingin aja."
           Ibuku hanya mengangguk saja, mengerti bahwa ada yang ingin kusembunyikan. Tapi dia tahu bahwa aku tak mungkin mengungkapkan padanya. Setelah itu ia beralih menuju kamarnya, sedangkan aku pergi ke kamar untuk menunggunya.
           Tidak lama aku menunggu ibuku di kamar, dia sudah datang. Kemudian ia mengambil tempat di tempat tidur yang bisa dikatakan cukup luas untuk satu orang. Dalam beberapa saat kami masih terdiam, aku mencari-cari kalimat untuk menanyakan hal yang ingin kutanyakan sejak tadi.
           "Bagaimana harimu?" tanyanya.
           "Mmm, tak ada yang istimewa,"jawabku singkat.
           "Benarkah? Lalu apa yang kau lakukan hari ini?"
           "Aku sekolah, tidur siang, menyiapkan makan malam. Oh ya, Mom sudah makan?" mengingatkanku bahwa ibu belum makan di rumah.
           "Tenang saja, ibu sudah makan di kantor."
           Aku sedikit kecewa dengan jawaban ibu, karena aku sudah menyisakan makanan untuknya.
           Mungkin karena dia tahu bahwa aku sedikit kecewa, dia langsung menjawab,"Maafkan Ibu tidak memberitahukanmu kalau akan pulang terlambat, jadi makan malamnya akan kumakan nanti kalau ibu lapar lagi."
           Jawabannya membuatku cukup senang.
           "Jadi sekarang saatnya tidur!"
           "Baiklah," jawabku sambil meringkuk di pelukkanya dan dia menaikkan selimutku. Lalu dia mendendangkan lagu ninabobo yang sering aku dengar tiap malam waktu aku kecil.
           Saat aku mendengar ibu menyanyi, aku merasa akan merindukannya saat ini. Aku ingin sekali tidak tertidur untuk mendengarnya semalam penuh. Tapi lagu itu membuat rasa kantukku semankin menjadi-jadi, sehingga aku telah lupa hal yang akan kutanyakkan tadi saat ibu pulang.
           Tubuh ibuku sangat dingin malam ini, tapi aku merasa nyaman dalam pelukannya. Dan aku mulai merenungi tanggung jawabnya padaku. Aku merasa kecil dipelukkannya. Kasih sayangnya yang begitu besar, kesabarannya yang begitu tinggi saat merawatku membuatku seakan-akan balas budi yang harus aku bayar sangatlah banyak. Bahkan mungkin aku takkan bisa maembayarnya sampai aku mati.
           Aku merasa dosaku sangat besar ketika aku membantahnya untuk melakukan hal yang dilarangnya. Aku mengingat banyak hal yang kulakukan yang membuatnya marah padaku, seperti saat aku sembunyi-sembunyi mencoba untuk merokok, membolos sekolah, sering meminta uang tanpa tahu bahwa ibuku membutuhkan pengorbanan lebih untuk menyekolahkanku, aku selalu meminta apa yang tak mungkin bisa dibelikannya untukku.
           Aku teringat saat aku masuk sekolah menengah atas, aku ingin masuk sekolah favorit padahal saat itu ibu sedang kesusahan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ibu mencoba berhutang pada saudara-saudaraku untuk menyekolahkanku di sekolah favoritku. Banyak hal yang kulakukan yang membuat ibuku bekerja keras.
           Namun aku selalu mengingat senyumannya saat mengantarkanku ke sekolah saat aku kelas I SD. Ibuku selalu tertawa saat memberikan apapun yang kuinginkan. Dia selalu tertawa bahagia saat aku merasa bahagia karenanya. Dia selalu menutupi rasa lelah yang selalu dirasakannya saat bersama denganku.
           Dia selalu menjagaku saat aku terjatuh dari sepadaku, terjatuh dari pohon, dan terjatuh dari genteng. Dengan tangan yang begitu lembut dan kecil dia berusaha untuk menopangku dengan kekuatan hidupnya. Berpura-pura tidak merasa sakit meski memar-memar berada di tangannya. Tangan itu selalu mengusap air mataku ketika aku terjatuh atau aku tidak mendapatkan apa yang kuinginkan dan dengan tangan itu pula dia meberikan apa yang kuinginkan hanya untuk membuatku tertawa bahagia. Tangan itu pula yang selalu membelaiku dan memelukku saat aku menangis.
           Sinar matanya yang lembut selalu terarah padaku, mengawasi agar tidak terjadi apapun padaku. Meski terkadang mata itu menatapku dengan tajam, namun itu karena kesalahanku. Mata hitam yang selalu memandang langit itu selalu terlihat resah memikirkan masa depanku. Memikirkan bagaimana caranya agar hidupku selalu bahagia. Tanpa merasa jenuh dia selalu memikirkanku, selalu.
           Rasa kantuk menyerangku, aku mulai menguap mencoba untuk tidur. Aku melihat ibuku dengan penuh sayang, merasakan belaian tangan lembutnya pada rambutku, mengingat rasa hangat pelukannya yang mengantarkanku ke dalam tidur yang lelapku. Akupun tertidur.
           Pagi hari aku tidak melihat ibuku di kamarku, mungkin dia sedang berada di dapur untuk menyiapkan makanan. Saat aku ke ruang makan aku sudah melihat makanan tersaji di atas meja makan. Aku sedang melihat ibuku memasak di dapur, saat ibuku mulai menyapaku dengan senyumannya seperti setiap pagi,”Selamat pagi.”
           “Selamat pagi,” balasku,”hmm, baunya enak. Makan apa hari ini, Mom?
           “Makanan kesukaanmu, sosis dan telur mata sapi digoreng mentega.”
           “Hmmm, pasti enak. Aku akan segera mencobanya.”
           “Eits, mandi dulu, lalu bersiap untuk ke sekolah, baru makan.!”
           Dengan sedikit malas aku menjawab,”Baiklah, Mom.”
           Beberapa menit kemudian aku sudah siap untuk makan. Hari ini ibu sarapan bersamaku, tidak seperti biasanya.”Hari ini ibu akan mengantarmu ke sekolah.”
           “Baiklah,” tanpa basa-basi aku tidak menolak, tidak seperti diriku yang biasanya.
           Setengah jam kemudian aku sampai di sekolah.
           Setelah itu aku mencium tangannya dan mengucapkan salam seperti biasa. Kemudian ibu pergi, namun sebelumnya dia melambaikan tangan seakan mengucapkan selamat tinggal dan aku membalasnya dengan lambaian tangan pula dengan menambahkan,”Hati-hati di jalan, Mom!!”
           Saat ibuku berlalu, jantungku merasa berpacu lebih cepat dari biasanya. Tiba-tiba air mataku mengalir entah mengapa, lalu aku mengusap dengan tanganku dan berlalu masuk ke sekolah.
***
Satu Bulan Kemudian
           Aku pergi ke sekolah seperti biasa, hanya saja kali ini ada sedikit perbedaan. Aku diantar oleh Tante Siska, adik dari ibuku. Sejak beberapa hari lalu aku pindah ke rumah Tante Siska. Aku diterima cukup baik disana.
           Beberapa minggu lalu aku mencoba melarikan diri dari kehidupanku, tidak makan, minum, dan berbicara dengan orang lain. Namun selama masa-masa itu, aku mencoba memantapkan diriku untuk lebih kuat menghadapi semua masalah yang ada. Aku memikirkan masa depanku, memikirkan bagaimana mengisi hatiku yang memiliki lubang yang sangat besar. Aku berpikir keras sampai lupa siapa saja disekelilingku.
           Satu bulan yang lalu, banyak orang menghampiriku, entah siapa mereka karena saat itu, aku hanya berpikir. Berpikir untuk menerima apa yang terjadi. Aku terus berpikir sampai seseorang membawaku ke suatu tempat yang membuat air mataku mengalir tanpa henti.
           Samar-samar aku melihat lubang, membuatku merasakan lubang besar yang kosong di hatiku, sesuatu telah pergi dari diriku. Memikirkannya membuat air mataku semakin deras menetes. Seseorang yang ada di sebelahku mengusap air mataku yang terasa asin itu. Tanpa peduli, air mataku terus mengalir sehingga dadaku terasa dingin. Beberapa waktu kemudian aku tidak kuat melihatnya, tanpa sadar aku menjerit keras dan tak tahu apa yang terjadi.
           Saat aku membuka mata, tidak begitu jelas, orang-orang mulai menutup lubang itu. Berharap hatiku yang berlubang juga tertutup, namun itu hanya harapan kosong. Bahkan hatiku yang kosong semakin sakit dan angin melewatinya, dingin.
           “Apa kau kuat,sayang?” Tanya seorang wanita yang berada di sampingku dengan begitu kehati-hatian. “Jika tidak, kita bisa pulang dulu!”
           Aku hanya menggeleng pelan. Aku tak akan melewatkan hal terakhir yang bisa kulihat.
           Setelah lubang itu tertutup penuh dan sebuah gundukan tanah terbentuk, aku maju ke gundukan tanah itu dan menatapnya penuh cinta kasih yang tak pernah terluapkan sebesar ini.  “Aku akan selalu mencintaimu, Mom.” Aku ingin mengatakan lebih dari itu, tapi aku tak tahu kata apa yang bisa mengungkapkan perasaanku yang lebih dari cinta.
           Setelah itu, aku dituntun meninggalkan tempat itu dan dibawa ke tempat yang aku kenal, kamarku. “Aku ingin sendiri,” kataku pada wanita yang sudah mendekapku sejak kemarin. Dia pun pergi, disusul suara klik dari pintu kamar.
           Aku mulai terkenang beberapa hal yang kuingat saat di rumah sakit, kemarin. Aku melihat ibuku penuh darah, mencoba untuk menggapai diriku. Aku maju mendekatinya dan mencengkram tangannya dan memeluknya di dadaku. Ibu masih tersenyum melihatku. “Ibu mencintaimu.”
           “Aku juga cinta Mom. Bertahanlah, Mom! Aku akan selalu mencintaimu, Ibu!” dengan menangis aku mencoba mengeluarkan kata-kata itu.
           Ibuku hanya membalasnya dengan senyuman. Tangan yang satunya mulai membelai rambutku dengan lembut. Sangat lembut, sampai aku tidak ingin melepasnya. Aku tak ingin. Dan seseorang pergi tanpa bisa aku temui lagi. Ibu.
           Saat sendirian, aku berpikir tentang apa yang akan kulakukan setelah ini? Bagaimana cara menutup lubang besar ini? Aku tak bisa berpikir, aku bingung.
           Dalam pikiran kosongku, aku dikagetkan oleh suara pria yang mencoba masuk ke kamarku. “Ku mohon biarkan aku masuk!” katanya.
           “Hana terlalu lemah untuk berbicara ataupun menemui orang lain.” Sahut wanita itu, menolak permintaan si pria. Benar aku lemah.
           “Ku mohon, aku ingin melihatnya. Aku tidak akan bertanya apapun padanya.” Si pria tetap bertahan dengan permohonannya.
           Beberapa saat hening, lalu suara klik dari pintu terbuka disertai suara si wanita,”Baiklah. Tapi hanya sebentar.”
           Saat itu aku ingin tahu siapa si pria, tapi aku terlalu lemah untuk melawan dari pelukannya untuk melihatnya apalagi pelukannya terlalu nyaman untuk kulepas. Dia terus memelukku erat. Beberapa menit kemudian, dengan tetap memelukku dia mengatakan sesuatu,”Sesuatu yang entah dipahami atau tidak diakui atau tidak, akan tetap ada. Jika kau mengingatnya, dia akan selalu berada dihatimu. Dia tidak akan pergi meninggalkanmu. Kau tidak akan pernah sendirian ataupun kesepian. Jangan pernah! Kau bukanlah milikmu sendiri. Di dunia ini tak ada satu orang pun yang menjadi miliknya sendiri. Siapa pun terkait dengan yang lain. Berbagi sesuatu. Makannya kita tidak bebas. Dan karena itu juga kita bisa senang dan sedih dan mencintai. Jika kau mencintai ibumu, jangan pernah lupakan dia! Jangan mencoba pergi dari kesedihan itu! Karena itu adalah jalanmu untuk membuatmu lebih kuat! Ibumu membesarkanmu untuk menjadikanmu kuat menjalani hidup. Kau mempunyai pilihan untuk tetap dalam kesedihanmu dan terus berpikir untuk melupakannya atau kau menjadikan kesedihan ini menjadi kekuatnmu dan menjalani hidup serta membahagiakan ibumu yang pergi. Pilihlah!”
           Saat itu dia melepas pelukannya dan aku merasa dia menatapku, aku menatap wajahnya namun aku tidak tahu bagaimana wajahnya karena mataku masih tertutup oleh air mata. Dia terus menatapku, seakan menunggu jawaban dariku. Aku terpaku. Setelah beberapa saat, tangannya yang mencengkeram kuat lenganku mulai mengendor. Entah mendapatkan kekuat dari mana, aku mulai berbicara,”Aku ingin kuat!”
           Sepertinya pria di depanku tersenyum mendengar jawabanku, aku pun tersenyum tipis. “Aku selalu mencintaimu. Saat aku kembali, aku akan selalu melindungimu. Tunggu aku!” setelah itu si pria mencium keningku dan pergi.
           Aku terpaku. Sesaat kemudian aku mengatakan dalam hati,”Aku akan kuat. Aku akan menjadi seseorang yang membuat ibuku bahagia. Aku akan selalu mengingat Ibu. Ibuku akan selalu menjaga agar hatiku tidak kosong. Aku akan kuat. Kuat. Kuat menjalani hidup.” Setelah itu aku mulai tersenyum.
           Dan sekarang aku menjalani hidup seperti saat ibu ada di sampingku karena ibu memang selalu dihatiku.
           Sampai saat ini aku belum tahu siapa si pria itu. Aku ingin berterima kasih padanya karena telah menyadarkanku akan pilihan hidupku. Meski itu hanya sebuah kata, aku akan selalu mengingatnya. Dan aku akan selalu bahagia seperti yang diharapkan ibuku. Dan selalu kuat untuk menjalani hidupku karena aku punya pilihan.
           Semenjak saat itu, tiap minggu aku dikirimi bouquet feverfew yang dipadukan dengan beberapa bunga seperti moss, daisy, dan chamomileFeverfew sendiri adalah bunga kesukaan ibuku yang memiliki arti perlindungan, dan bunga moss melambangkan cinta kasih ibu, daisy melambangkan polos, kesucian, keteguhan, bahagian, kesederhanaan, kesetiaan cinta, dan chamomile melambangkan kesabaran. Semua arti bunga itu tertulis di kartu yang disertakan pada bouquet. Semua bunga itu membuatku lebih kuat. Hmm, dan aku yakin bunga berikutnya adalah apple blossom.

Comments

Popular posts from this blog

New Cover | Estuary (The Star Lily Lake)

↑ Full Version ↑ ↑ Front Cover Only ↑ More info: © photo to the artist Edited by M.P Use PhotoScape

Hal yang kusukai

Aku sangat menyukai langit cerah di malam hari Setelah hujan seharian. Hal itu mengingatku pada diriku saat kecil Yang masih sangat polos. Sekalipun hanya kata sederhana yang bisa kulontarkan "Indah" Tanpa perlu memikirkan masa depan Apa yang akan terjadi esok Apa kata orang Apa aku berhak hidup Hari ketika aku menangis seharian Dan langit malam itu sanggup membuatku tersenyum Namun itu juga mengingatkanku pada malam Saat aku bertanya pada diriku "Apakah ada dunia tanpa diriku?" "Akankah itu lebuh baik?" Aku merindukanmu bukan karena aku mencintaimu Aku merindukanmu karena kau mengingatkan diriku Yang dengan sederhananya melambaikan tangan padamu Untuk mengucapkan selamat tinggal pada masa terbaikku Ditulis tanggal 05 April 2019

Bangku Taman, 1 Juli

Jalan sepi yang lenggang itu, dengan paving abu-abu yang mulai berlubang. Jalan ini selalu tampak sepi, jarang ada orang yang melewatinya apalagi ketika hujan bahkan petugas kebersihan pun jarang membersihkan jalan ini. Tidak heran, jalan ini sepi karena terletak di bagian paling pojok sebuah taman. Daun-daun yang berserakan yang hampir tiga hari tidak dibersihkan. Meski jarang dilewati bagian taman ini sangat indah, terdapat pohon maple besar  di setiap sisi-sisi jalan, hamparan rumput hijau yang bersanding dengan berbagai macam bunga, seperti mawar, aster, gerbera, iris, dan lily. Ada juga sebuah sisi dengan deretan bunga matahari. Saat musim semi tiba, hijau dedaunan akan nampak sangat indah, daun yang bertebangan karena musim semi seperti hujan hijau yang tampak indah. Ketika malam tiba, dari taman bagian ini juga bisa melihat berbagai rasi bintang. Taman ini hanya diterangi beberapa lampu taman, sehingga cahaya bintang akan terlihat berkelip indah. Di bawah sebuah pohon mapl