Aku terduduk di bawah sebuah pohon besar dekat rumahku. Beralaskan akar yang mencuat dari tanah, aku bersandar pada batang pohon itu. Daun-daun hijau yang terjatuh karena berat menampung embun. Aku memegang sebuah buku yang sudah mulai lusuh, pinggirannya bahkan sudah menguning, tertulis nama "Drea's Book" di sampul buku itu, berhiaskan gambar-gambar bintang, hal yang paling disukai Dreas. Hampir setiap halaman sudah ku baca berulang kali hingga aku hafal.
Isi buku itu bertuliskan banyak hal tentang Dreas, mulai dari mimpi, peristiwa bahagia, konyol, bahkan menyedihkan. Banyak hal yang dia ceritakan dari keluarganya, sahabat, bahkan orang yang baru dia temui, tak terkecuali aku. Aku teman yang baru dikenalnya selama 3 tahun, tapi dia memberikanku hal yang berharga. Untuk hidup yang tak selamanya sendirian, untuk perbedaan yang indah, untuk pertengkaran yang lucu, dan untuk pertemuan yang selalu disertai perpisahan.
Dalam buku itu juga tertulis apa yang kusikai dan kubenci. Dreas juga mendeskripsikanku dalam kata-katanya, penyendiri yang manja, tampak kuat tapi membutuhkan sandaran, sulit untuk tersenyum, dan selalu bersikap kejam. "Begitukah diriku?" tanyaku dalam hati. Aku yang menyukai bau hujan, buku, dan pohon juga tertulis dalam buku itu. Karena itu dia mengajakku ke pohon ini. Dia selalu berkutat dengan menghafal bintang di langit dan aku sibuk membaca buku yang kubawa. Meski hening, kami selalu menikmatinya. Dia juga menuliskan hal yang kubenci seperti ulat, betapa aku takutnya pada cowok, dan betapa takutnya aku pada hantu.
Ada juga halaman yang menuliskan tentang mimpinya. Dreas sangat suka langit, karena itu dia ingin menjadi astronot. Dia menulis betapa kerasnya dia menghafal rasi bintang, planet, orbit, dan segala macam yang berhubungan dengan antariksa. Batapa dia berjuang untuk mendapatkan teleskop dengan bekerja pada ayahnya. Dreas hidup dikeluarga yang disiplin dan kerja keras, tapi keluarga itu sangat bahagia. Meski terkadang Dreas bertengkar dengan ayahnya, semuanya selalu berujung dengan pelukan dan senyuman.
Dreas, dia tahu apa yang terjadi pada tubuhnya. Dia menuliskan rasa sakit yang dirasakannya. Semuanya tertulis jelas dalam buku itu, bagaimana dia menghadapi operasi, terapi, dan obat yang selalu membuatnya berteriak. Meski sakit yang dia rasakan, dia tetap bisa tersenyum karena banyak hal. Dreas selalu berkata, "sebelum aku tak bisa tersenyum, aku ingin selalu tersenyum."
Aku sudah membaca hampir semua halaman itu, tapi tinggal satu halaman yang belum aku baca sejak kepergian Dreas 6 bulan lalu karena serangan jantung. Setiap aku membaca buku ini, aku selalu merasa Dreas berada di depanku sedang bercerita tentang apa yang sudah dia lakukan hari itu.
Sekarang, aku membuka halaman terakhir itu. Tertulis kata, "Terima Kasih," berhiaskan bintang dan tertempel foto-foto orang-orang yang dia sayangi. Foto Ibu, ayah, dan adiknya yang sedang tersenyum, foto teman-teman sekelasnya, dan fotoku. Aku melihat diriku yang duduk di bawah pohon tempatku berada sekarang, berwajah serius dan menekuti buku yang sedang kebaca saat itu. Lalu aku membalik halaman berikutnya, terpampang wajahku yang sedang tersenyum, aku yang tercebur ke dalam sungai saat berlibur dengan Dreas, di bawah foto tertuliskan, "cantik". Senyuman itu, senyuman yang hanya bisa kuberikan padamu, Dreas. Dreas, selamat tinggal.
Diambil dari Notes Facebook Pribadi.
Ayo menulis~~
Comments
Post a Comment