Skip to main content

Perjalanan km 5 Jam 5


Aku duduk di dalam kelas yang dipenuhi dengan manusia pemikir yang membosankan. Mereka mengamati papan yang di sebelahnya terdapat seorang manusia tua dengan penuh jenggot hampir seleher. Laki-laki di depan itu menjelaskan tentang hal yang tidak kumengerti, sebuah penyakit yang belum bisa disembuhkan. Dia membicarkan tentang revolusi dalam bidang kedokteran.

Ya, itulah aku, seorang mahasiswa kedokteran di sebuah universitas terkenal di kotaku. Jujur saja, aku adalah orang yang tidak menyukai ini, duduk di bangku dan mendengarkan orang lain di kelas. Waktu SMA aku sudah memutuskan untuk pergi dari kota ini, pergi untuk menggapai keinginanku, menjadi seorang teknisi mobil. Aku sudah mendapatkan surat rekomendasi dari sebuah perusahaan dan mendapatkan beasiswa untuk kuliah di Bandung.

Tapi apa yang terjadi padaku sekarang, duduk menanti jam kuliah selesai, pergi dari sini dengan segala kebosanan. Bukan kemauanku berada di sini, ini semua karena ayah. Ayah menyuruhku untuk sekolah kedokteran,karena dia menginginkan ada penerus keluarga yang melanjutkan usaha keluarga dalam mengurus rumah sakit yang kami miliki. Aku dan ayah sering berdebat soal ini, tapi yang terjadi aku yang selalu kalah. Ayah selalu membawa nama Ibu, "Ibumu ingin kau menjadi orang yang berguna," kata ayahku.

Dan sekian kali kami berdebat, aku pun menyerah. Aku menuruti ayahku, mengubur segala kemauanku, dan mengikuti hal-hal yang membuatku tertekan. Aku takkan menghentikan jalan yang dibuatkan ayahku, dan aku telah menutup jalanku sendiri.

Hari ini, aku berjalan pulang. Aku menyusuri jalan-jalan yang sudah sering aku lalui, tapi menggunakan mobil. Hari ini aku memutuskan untuk berjalan kaki. Langit biru yang menaungiku saat berjalan, membuatku merasa lebih nyaman. Untuk menegakkan pikiranku, aku lebih suka melakukan ini daripada pergi ke tempat wisata. Dengan berjalan kaki di trotoar jalan, meski suara kendaraan yang bising dan kadang-kadang asap yang tebal datang dari truk besar, itu seakan musik menenangan bagiku.



Aku melewati sebuah kolong fly-over, aku melihat banyak sekali orang di sana, melakukan aktivitas memisahkan sampah-sampah yang dia pulung dari sampah rumahan. Mereka adalah seorang pemulung, tidak jarang ketika di perumahanku, mereka diusir oleh tetanggaku. Tetanggaku itu memang sangat sombong dan berlagak angkuh, dia sangat bangga dengan pekerjaan sebagai GM di perusahaan ayahnya. Hah, dia bangga atas yang dimilikinya, yang jika dibenarkan itu bukanlah usahanya sendiri, bukanlah hal yang patut untuk dibanggakan.

Saat aku terfokus pada tempat pemulung itu, seorang pemulung melewatiku, dia membawa banyak sekali sampah di gerobak yang ia bawa. Selain itu, dia juga membawa serta kedua anaknya di atas gerobak itu. Pemulung itu, menarik gerobak itu dengan sekuat tenaga. tak pantang menyerah untuk menarik hingga ke area pemulung lainnya. Saat aku mulai memandangnya dengan lebih teliti, aku menyadari bahwa dia seorang wanita.

Seorang wanita yang mengangkat gerobak dengan isian sebanyak itu? Aku mengakhiri kekagetanku dan menghampiri wanita itu, "permisi bu, boleh saya bantu?!"
Wanita itu mengangguk, "terima kasih,nak!"

Selama hampir satu jam aku mendapati diriku membantu ibu itu untuk memisahkan sampah-sampah di gerobaknya, kedua anaknya juga ikut membantu. Dari perbincangan itu, aku tahu bahwa wanita itu bernama Bu Fatimah, dia adalah seorang wanita yang ditinggalkan suaminya yang pemabuk dan penjudi. Kedua anaknya, Dina seorang gadis manis dengan gigi susu yang tanggal selalu tersenyum manis dan kakanya Dino seorang anak laki-laku yang kuat dan tatapan yang tajam. Entah darimana ia dapatkan mata itu.

Aku juga tahu kalau ternyata kedua anak itu masuk dalam gerobak bukan bermaksud untuk tidak membantu ibunya, tapi agar sampah yang dibawa Bu Fatimah tidak jatuh di jalan. Bu Fatimah menarik gerobak itu dari jarak 5 km dari tempat ini. Kekuatan yang dimiliki oleh Bu Fatimah itu berasal dari anak-anaknya. Dia selalu terus berusaha karena selalu melihat senyuman gadis kecilnya Dina dan semangat kakanya Dino. Pada saat dia sakit dan lelah dari segala sesuatu, dia akan melihat semangat anak-anaknya. "Tapi hal-hal baik adalah bagian dari hidup juga, begitulah bagaimana kita terus hidup, percaya hal baik itu akan datang," itulah yang dipercaya oleh Bu Fatimah.

Langit biru masih terpampang di langit itu, meski di bawah sini begitu banyak abu-abu derita, langit tetaplah bewarna biru di sana. Meski hujan tangis menderu di bawah sini, langit tetaplah biru. Dan meski rintik keringat mengalir, langit biru tetaplah ada. Bermaksud, semangat haruslah ada meski dalam kesedihan, jangan pernah mengatakan mati!

Setelah aku membantu Bu Fatimah, aku meneruskan perjalananku untuk pulang. sekitar satu kilometer dari tempat Bu Fatimah, aku menemukan perkampungan kumuh yang kebanyakan rumahnya terbuat dari zeng dan kardus, kadang kayu. rumah itu hanya setinggi satu meter, aku mungkin tidak bisa berdiri di dalam rumah itu. Aku penasaran dan masuk ke area itu. Sebelum aku masuk terlalu dalam, aku ditarik oleh seorang anak laki-laki. "Dino?"
"Apa yang kakak Ade lakukan di sini?" tanya Dino kepadaku dengan sedikit berbisik.
Aku sibuk mencari alasan di otakku. Namun sebelum aku sempat menjawab Dino mengatakan sesuatu.
"Kakak tahu, orang-orang di sana itu preman tempat ini, kalau mereka tahu ada orang kaya lewat sini, kakak akan dirampok!"
"Di siang hari mereka juga ngrampok?"
Dino hanya mengangguk. Dalam otakku, tempat apa ini? Tempat dimana tidak ada ketenangannya sama sekali, apa ini bisa disebut rumah? Aku yang tinggal di rumah yang dipenuhi banyak fasilitas, mulai dari televisi, shower air panas, kamar tidur yang empuk, kolam renang, dan banyak lainnya.

Dino menyeretku ke rumahnya, yang tentu saja aku tidak bisa berdiri di sana. Aku terduduk dan meminum, minuman yang diberikan Dino padaku. Dia tahu aku sangat haus setelah berjalan hampir 3 km di bawah matahari yang terik dan tanpa ada tempat berteduh. Anak-anak kecil ini selalu menghadapi tekanan seperti para preman itu, tapi masih bisa tertawa saat menceritakan kejadian lucu, saat dia dan teman-temannya mengerjai para preman itu.

Ternyata Dino akan pergi sekolah, lebih tempatnya tempat belajar gratis. Tempat ini dinamakan Taman Belajar oleh anak-anak itu. Taman Belajar ini didirikan oleh para mahasiswa yang secara sukarela mengajar anak-anak kurang mampu tersebut. Tempatnya di sebuah gazebo yang cukup luas, ada empat papan tulis di sana. Setiap anak yang baru masuk diberikan buku dan bulpoin gratis. Terdapat juga rak buku yang berisi buku-buku hasil sumbangan para mahasiswa, tapi tidak semua diletakkan di rak, masih banyak yang diletakkan di kardus. Tempat itu dihiasi oleh hasil karya anak-anak di sana, coretan-coretan para calon seniman cilik

Meski tempat ini tidak begitu bersih, tap tempat ini yang terlihat nyaman. Dino belajar disana sejak setahun yang lalu. Para mahasiswa itu tidak hanya mengajarkan pelajaran sekolah saja, tapi juga pelajaran hidup, mereka juga mengembangkan bakat anak-anak tersebut. Setiap anak selalu diberi kesempatan untuk menunjukkan bakatnya. Tak ada sedikit pun mata kebosanan di tempat itu. Mahasiswa yang mengajar anak-anak itu telihat mata yang bahagia. meski mereka sedikit marah ketika ada yang mengganggu temannya, tapi sorot mata mereka sangat tulus.

Saat hujan turun, kegiatan terpaksa dihentikan,karena tempat itu akan terkena air hujan, tapi mereka bekerja sama untuk melindungi tempat itu dengan menyelamatkan buku-buku dengan menutupi menggunakan plastik. Tidak jarang ada wali murid yang tidak suka anaknya belajar di sana, wali murid itu berpendapat bahwa sekolah tidak penting, toh  akhirnya mereka akan tetap menjadi pemulung.

Kata-kata itu sedikit melukai perasaanku. Apakah aku pada akhirnya juga akan menjadi dokter? Meski aku lebih beruntung karena pekerjaan itu terlihat lebih bagus. Tapi aku tak setuju dengan wali murid itu, mungkin saja anaknya bisa menjadikan mereka lebih berada dari sekarang, wali murid itu hanya menyerah sebelum beusaha.

Menyerah sebelum berusaha? Apa usaha yang aku lakukan sudah maksimal? Kenapa aku bisa kalah oleh ayah yang memaksakan kehendak? Tunggu, bukan aku yang kalah oleh ayah, tapi aku yang kalah pada diriku sendiri. Aku yang kalah dari kata menyerah. Aku yang menyerah terhadap kekuatan yang aku miliki. Aku tahu kekuatan itu ada padaku, tapi aku menguburnya dalam-dalam. Meski langit biru terbenam oleh awan mendung, tapi langit biru tetap ada di balik awan mendung itu. Hanya menghilangkan awan itu, dan langit biru akan terlihat, hanya perlu hujan untuk menghilanhkannya. Itulah, aku belum mengeluarkan hujanku, kekuatanku.

Selama dua jam aku berada di sana membantu anak-anak belajar dan membuat ketrampilan tangan. Setelah itu aku melanjutkan perjalanan, dua kilometer dari tempat itu terbentang sebuah sekolah yang berdiri megah, tertulis "Sekolah Berstandar Internasional". Bertengger banyak mobil hingga menutup jalan di sana. Anak-anak yang belum pernah merasakan kesusahan dan keterpurukan. Mereka yang hanya mengenal belajar dalam kelas dan tidak pernah memikirkan darimana uang yang di dapat, meski dari korupsi mereka pun tak peduli.

Dunia yang berbeda dari yang kulihat tadi, penuh kemewahan, kenyamanan, dan kearoganan. Namun itu menyimpan sebuah badai besar suatu saat. Mereka takkan bisa menghadapi keterpurukan jika saatnya jatuh.

Aku menengadah, kita terbang tepat di luar angkasa. Ke manakah langit biru tak terbatas itu besok? Kita takkan apakah kita akan terus berada di langit dan kapan kita akan terjatuh. Langit biru tak terbatas itu, tempat yang luas untuk menggapai mimpiku. Tipu daya terjadi kadang-kadang, bahkan bayanganmu yang ada di cermin mungkin tahu itu, aku hanya melihat secungkil langitku, hingga saat ini aku menyadari langit biru takkan sekecil itu untuk menghilangkan mimpiku.

Aku hanya melewati sekolah itu dan melanjutkan perjalanan ke rumah sepanjang 2 km, di sana aku terduduk di balkon rumahku. Memandang kamarku dari balkon, berisi buku-buku kedokteran dan gambar-gambar anatomi manusia. Aku memang orang yang cukup pandai hingga aku tak perlu bekerja keras untuk menjadi dokter selain itu aku beruntung karena ayahku dokter, mungkin jalan itu akan sangat mudah untuk dijalani. Mengaku kalah pada kata menyerah dan meengubur kekuatanku.
Atau
Aku menengadah ke langit biru dari balkonku. Melihat langit biru yang masih terbentang di sana. Mimpi tak terbatasku. Mungkin akan sangat sulit untuk terbang ke langit, membutuhkan kekuatan yang besar untuk menggapainya. Angin topan mungkin akan sering menghempas sayapku dan mungkin aku akan terjatuh berulang kali. Apakah aku siap untuk tak katakan menyerah dan mengerahkan segenap kekuatan yang kumiliki?

Author : Ludia M.P
Theme Song : YUI - Never Say Die
Keywords : Bosan, menyerah, kalah, langit biru, kekuatan
Project : @YUI17Melodies #MelodiHijauOranye





Comments

Popular posts from this blog

New Cover | Estuary (The Star Lily Lake)

↑ Full Version ↑ ↑ Front Cover Only ↑ More info: © photo to the artist Edited by M.P Use PhotoScape

Bangku Taman, 1 Juli

Jalan sepi yang lenggang itu, dengan paving abu-abu yang mulai berlubang. Jalan ini selalu tampak sepi, jarang ada orang yang melewatinya apalagi ketika hujan bahkan petugas kebersihan pun jarang membersihkan jalan ini. Tidak heran, jalan ini sepi karena terletak di bagian paling pojok sebuah taman. Daun-daun yang berserakan yang hampir tiga hari tidak dibersihkan. Meski jarang dilewati bagian taman ini sangat indah, terdapat pohon maple besar  di setiap sisi-sisi jalan, hamparan rumput hijau yang bersanding dengan berbagai macam bunga, seperti mawar, aster, gerbera, iris, dan lily. Ada juga sebuah sisi dengan deretan bunga matahari. Saat musim semi tiba, hijau dedaunan akan nampak sangat indah, daun yang bertebangan karena musim semi seperti hujan hijau yang tampak indah. Ketika malam tiba, dari taman bagian ini juga bisa melihat berbagai rasi bintang. Taman ini hanya diterangi beberapa lampu taman, sehingga cahaya bintang akan terlihat berkelip indah. Di bawah sebuah pohon mapl

Hal yang kusukai

Aku sangat menyukai langit cerah di malam hari Setelah hujan seharian. Hal itu mengingatku pada diriku saat kecil Yang masih sangat polos. Sekalipun hanya kata sederhana yang bisa kulontarkan "Indah" Tanpa perlu memikirkan masa depan Apa yang akan terjadi esok Apa kata orang Apa aku berhak hidup Hari ketika aku menangis seharian Dan langit malam itu sanggup membuatku tersenyum Namun itu juga mengingatkanku pada malam Saat aku bertanya pada diriku "Apakah ada dunia tanpa diriku?" "Akankah itu lebuh baik?" Aku merindukanmu bukan karena aku mencintaimu Aku merindukanmu karena kau mengingatkan diriku Yang dengan sederhananya melambaikan tangan padamu Untuk mengucapkan selamat tinggal pada masa terbaikku Ditulis tanggal 05 April 2019