Skip to main content

Posts

Showing posts from January, 2013

Langit-langit Kamar

Aku ingin menghancurkan kenangan itu, aku ingin bertahan pada kenangan itu, aku tidak mengerti diriku. Aku ingin kembali ke masa kecil  dimana aku bisa katakan apa yang aku rasakan, aku inginkan, dan aku lakukan. Tanpa merasa takut , aku melakukan segala hal yang belum bisa kumengerti. Tanpa menanyakan alasan, aku lakukan apa yang ada dihadapanku. Membuat kesalahan dengan mudah dan hanya tersenyum untuk memperbaikinya Masa kecil  dimana aku membuat kesalahan-kesalahan kecil dan orang hanya menggelengkan kepala, memaklumi. Aku yang tak tahu masa itu akan lewat begitu saja, aku membuangnya begitu saja. Kenangan yang ingin kulupakan, tapi begitu berharga. Kenangan yang takkan mungkin hilang dari masa laluku. Melekat dengan erat dalam hidupku, mengiringi setiap langkah. Aku hanya ingin menjadi anak kecil yang bisa menangis tanpa merasa malu. Tentu saja aku tidak bisa mengulanginya bahkan ketika aku mencoba bersembunyi di kota tak dikenal, aku hanya memeikirkan yang sedang terjadi di luar j

Dodon : Matimatika -_-"

Dodon, si anak cungkring bertubuh tinggi, berbadan gelap segelap semut hitam yang lagi nangkring di baju hitam. Mukanya sih standar, standar abang becak. Dibilang cakep, lumayan lah! Lumayan dikit, sekitar 5% di belakang kuping, lumayan ada tailalat gede yang katanya benda keberuntungan. Yah, mo gimana lagi, padahal dirinya suka sial. Kenapa tuh sial selalu nempel sama si Dodon, apa sih salah Dodon kok sampe sial setia banget. Apa karena Dodon terlalu manis? bangganya sendiri, saking manisnya sampe diinggapi semut hitam, jadi ga keliatan mukanya. Walau pun ga ada indah-indahnya untuk dipandang, tapi temen-temennya suka banget mandang Si Dodon. Gimana ga di pandang, liat aja mukanya, ga ngapa-ngapain aja udah bisa bikin orang ngakak, apalagi kalo lagi nglawak di depan kelas, bujubune, mulut sampe berbusa gara-gara ketololan yang dia bikin. Pernah tuh di dalam kelas, Dodon maju ke depan karena disuruh Pak Bison ngerjain soal matematika. "Padahal udah tau, ngebaca simbol matematika a

True Feelings

Pernah merasakan cinta yang tak bisa dilupakan? Kalau pun terlupa, itu hanyalah pura-pura, bukan? Bahkan itu hanya sekedar pengalih perhatian, kan? Ya, aku pernah mendapatkan cinta seperti itu, hingga aku selalu menunggu mu, meskipun aku tidak mengatakannya. Benar saja, perasaan itu tak bisa kulupakan dengan mudah. Hingga saat ini, senyum mu terlihat jelas. Saat aku menutup mata, kau ter lihat dengan sangat jelas. Dan kau tahu? betapa sakit mengingat segalanya, betapa sakitnya tidak bisa melupakanmu. Hatiku terasa sesak saat menyadari perasaan itu masih jelas ada dalam hidupku. Kau berdiri tegap dihadapanku, melakukan hal-hal konyol yang hanya bisa dilakukan olehmu. Tanpa susah payah, kau membuatku melepasakan tawaku. Dan dengan lantangnya aku melempar senyum  bahagia untukmu. Hari-hari itu, aku belum menyadari perasaan yang masuk dalam hatiku. Yang aku tahu, aku hanya nyaman bersama denganmu. Dan hari berjalan sangat cepat saat aku bersamamu, setiap senyum an yang tak terhitung, muncu

First Sight

Hujan rintik. Aku termenung di jendela dengan tirai bermotif bunga matahari, motif cerah di hari kelabu. Aku memandang jauh ke langit, melihat abu-abu terbentang hingga horizon. Matahari tak tampak, mengintip pun tidak. Aku terduduk di jendela, mendengarkan rintik hujan yang mulai turun, tanda keras bahwa hari ini matahari takkan muncul sekalipun. Malam pun datang, mencoba membawa bulan, tapi percuma abu-abu itu masih bertengger di langit, tak membiarkan cahaya bulan masuk sedikit pun. Aku masih termangu di dekat jendela, duduk terdiam memandang latar halamanku yang basah karena rintik hujan di sore tadi. Langit hari ini benar-benar tak berekspresi sama sekali. Rasa dingin mulai menjangkiti kulitku, aku berdiri dan berjalan ke arah kasur untuk mengambil selimut tebal bewarna kuning, kulilitkan ke tubuhku yang mulai kedinginan, lalu aku berjalan menuju jendela. Terduduk mendekap kaki dan mencoba menahan rasa dingin yang masuk melalui jendela kaca itu. Dengan kamar dalam keadaan tetap ge

Feverfew From Mother

Feverfew From Mother                                       Malam ini seperti malam-malam  s ebelumnya, dengan bulan penuh tanpa bintang-bintang. Kuingin melihat bintang-bintang yang akan selalu berkedip padaku tanpa kuminta. Meski ada bulan, bulan yang kulihat hanyalah bulan pucat yang tak begitu menyinari malamku. Kuingin melihat bulan yang tersenyum indah yang akan memecah malam kesepianku.            Walau kutahu permintaanku tidak akan terkabul dengan ibu yang protektif dan yang terlalu melindungiku. Kutahu dia melakukan hal itu karena sayang padaku, tapi aku sudah dewasa  untuk melakukan apa yang kuinginkan sekarang.            Aku tahu memang berat jadi  single parent , kadang-kadang aku merasa kasihan kepada ibuku yang harus melakukkan berbagai hal untuk membuatku betah dengannya. Sering kali aku yang memasak makan malam ketika ia pulang malam. Aku tak bisa melakukkan banyak hal yang berguna baginya jadi aku selalu mematuhinya agar tidak menambah beban baginya.            Malam

Q & A

"Hoaaaah!" Queen melihat jam dinding di depannya dengan mata separuh terbuka. Sedikit merenggangkan badan dan membuka selimut, dia mencoba melihat jam berapa sekarang. Lama dia memandangi jam dinding itu, lalu melongo karena kaget jarum panjang di antar 6 dan 7, dan jarum pendek di antara 7 dan 8. Dia mengingat hari ini, "hari ini hari senin, gumamnya santai dan mulai menata rambutnya yang berantakan. "Eeeeeeeeeeeh!" teriaknya keras."Huwaa, senin kan kuliahnya Pak Made, wah dosen killer , gawat!" secepat kilat Queen menuju kamar mandi untuk mandi, meski air sangat dingin di pagi itu, dia sudah tidak menghiraukan lagi. Sepuluh menit kemudian Queen sudah siap untuk berangkat kuliah. Dia menuju meja makan dengan lari-lari kecil menuruni tangga, "Non, jangan lari-lari! Nanti jatuh ,lho!" nasihat dari Bi Imah, asisten rumah tangga alias pengurus Queen sejak kecil. "Iya, Bi! Aku tak sempat makan udah telat, nih! teriak Queen yang sudah di dep

Perjalanan km 5 Jam 5

Aku duduk di dalam kelas yang dipenuhi dengan manusia pemikir yang mem bosan kan. Mereka mengamati papan yang di sebelahnya terdapat seorang manusia tua dengan penuh jenggot hampir seleher. Laki-laki di depan itu menjelaskan tentang hal yang tidak kumengerti, sebuah penyakit yang belum bisa disembuhkan. Dia membicarkan tentang revolusi dalam bidang kedokteran. Ya, itulah aku, seorang mahasiswa kedokteran di sebuah universitas terkenal di kotaku. Jujur saja, aku adalah orang yang tidak menyukai ini, duduk di bangku dan mendengarkan orang lain di kelas. Waktu SMA aku sudah memutuskan untuk pergi dari kota ini, pergi untuk menggapai keinginanku, menjadi seorang teknisi mobil. Aku sudah mendapatkan surat rekomendasi dari sebuah perusahaan dan mendapatkan beasiswa untuk kuliah di Bandung. Tapi apa yang terjadi padaku sekarang, duduk menanti jam kuliah selesai, pergi dari sini dengan segala ke bosan an. Bukan kemauanku berada di sini, ini semua karena ayah. Ayah menyuruhku untuk sekolah kedo