Skip to main content

Cermin

Judul : Cermin
Author : Ludia M.P
Project for :  @YUI17Melodies   #MelodiHijauOranye  
Theme Song : YUI- Again
Keywords : tangis, awal, mimpi, kenangan, dan musuh


Aku menatap cermin di depanku, meneliti setiap detil diriku. Rambut ikal panjang sepinggang yang biasa dipuji oleh orang karena sedikit unik. Rambut yang mengembang ini sedikit mengganggu ketika angin menerjang, akan menampakkan rambut berantakan dan terlihat seperti monster besar.

Aku memandang wajah itu, kulit putih dengan sedikit bekas jerawat di pipi kanan. Wajah sedikit oval, hidung yang tak terlalu mancung, bibir merah jambu tersenyum, mengulum bibirku sendiri dan memuji diri sendiri. Aku cukup bangga dengan bentuk bibir ini.

Mata tajam yang memandang mata di seberang cermin itu. Mata sipit dengan bola mata bewarna coklat ke arah hitam, bulu mata yang melengkung manis bertengger di bagian atas dan bawah mata, dan alis tipis bekar dicukur lebih ke arah berantakan. Memandang mata itu lebih lama dari memandang bagian lainnya. Mata yang menyorotkan sebuah kenangan tak terlupakan.

Mata itu terus memandang lurus, menembus mata di seberang cermin, mencari tahu awal kisah itu. Semua kisah itu menggambarkan kenangan yang tak henti mengalir di kelebatan bayangan pikiran.


Awal kisah itu adalah hari ini, ketika aku menatap mata itu. Untuk mencari apa yang sebenarnya terjadi. Mata itu memancarkan kilaunya saat dia disodorkan mimpi di depannya. Mimpi untuk mengelilingi dunia. Mimpi yang dicoba diwujudkan dengan keringat kerja keras tanpa henti. 

Di depan cermin itu aku melihat sebuah sosok baru, mengumbar sebuah kenangan menyakitkan. Sosok di masa lalu yang ku sesali. Diriku yang dahulu selalu menatap cermin sebagai musuhku, melihat diriku yang tak kuharapkan. 


Kemalasan yang menimpaku di masa lalu, menutup diriku dari mimpi yang tepat di depanku. Membuat mimpi itu berlari lebih kencang dan menjauh. Kemalasan itu membuatku hanya terdiam di cermin dan memandang diriku penuh penyesalan.

Sebuah kesempatan untuk meraih mimpiku terbentang di depan dan paparan pilihan tertulis di depanku. Pilihan itu adalah sebuah tawaran untuk menulis sebuah karya tulis berupa novel oleh sebuah penerbit. Di usiaku yang masih SMA saat itu, aku hanya berpikir ingin menjalani apa yang dilakukan anak SMA biasa. Aku takut

Ketakutanku adalah musuh keduaku. Takut untuk mengambil pilihan yang salah, takut menghadapi kegagalan, dan takut meratapi penyesalan. Aku takut jika suatu saat aku tidak bisa mendapatkan masalah dari pilihanku untuk melangkah ke depan. Aku takut jika suatu saat aku terjatuh dan terpuruk terlalu dalam hingga aku hanya bisa menatap ke atas mengharapkan ssebuah harapan. Sampailah aku dalam sebuah penyesalan.

Dan tanpa aku sadari aku telah menghadapi penyesalan besar. Penyesalan mengabaikan mimpiku, penyesalan menghadapi resiko dan penyesalan melewatkan segalanya. Saat aku sadari itu, semakin hatiku sesak, penyesalan yang mengalir itu menutup rapat mimpi di depanku. Terpuruk karena penyesalan hingga dalam. Andai saja saat itu aku menerima tawaran itu. Andai saja . . .

Penyesalan besar itu membuatku mengungkap pengandaian. Pengandaian sebuah harapan kosong, harapan kembali ke waktu lalu untuk memperbaiki penyesalan itu. Pengandaian itu adalah bukti keterpurukan. Aku tahu dan menangis menderu, tangisan penyesalan, tangisan karena aku mengharapkan pengandaian. Penyesalan itulah musuh terbesarku.

Tangisan itu menyadarkanku akan musuh terbesarku, musuh diriku sendiri. Dan aku mencoba untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Aku takkan terjebak dengan musuhku sendiri, aku takkan terseret alur kemalasan, ketakutan, dan penyesalan. Aku berteiak pada diriku sendiri dan mengatakan "Aku akan menggapai mimpi itu!"

Kisah itu masih berlanjut, ketika cinta datang di depanku, ketika cinta itu mendekat. Kau yang membuatku tertawa saat aku bersedih, kau yang selalu hadir dalam setiap kesempatan. Cinta itu datang karena aku sudah terbiasa denganmu.

Aku melihat semakin dalam ke mata dalam cermin itu, menyusuri hati, dan mencoba mengingat raut wajahnya. Dekik adalah orang yang humoris, dia adalah orang yang lebih suka membuat orang disekitarnya tersenyum daripada bersedih. Dekik yang berparas lumayan, berkulit putih sedikit coklat, potongan rambut standar, dan cukup tinggi untuk ukuran seorang cowok.

Kami terbiasa bersama dan melakukan kerja kelompok bersama, tidak jarang dia datang ke rumahku untuk sekedar ngobrol. Membicarakan tentang dirinya dan diriku. Mengenal satu sama lain. Menuliskan kisah terindah meski tanpa hubungan tak lebih dari teman. Begitu mudahnya kita saling menyambung topik ke topik lain. Tibalah keheningan itu dan memberikan kita sebuah debaran yang baru disadari saat keheningan datang.

Lalu kau mulai menanyakan tentang maukah aku menjadi pacarku. Dan tanpa aku sadari aku sudah menolaknya. Aku bertanya pada diriku, "Ada apa sebenarnya pada diriku?" Aku kecewa, mengapa dia tidak menanyakan perasaanku, tapi itu hanyalah sekedar alasan. Alasan yang kugunakan untuk menepati janjiku, janji untuk menggapai mimpiku.

Namun yang terjadi dia menjauh dariku, mencoba menghilangkan jejaknya dari kehidupanku. Itu tidak semudah yang terbayang. Tangisanku terurai lagi saat aku menyadari aku telah terbuai oleh musuh terbesarku, yaitu penyesalan hingga aku mengandai. Andai saja aku mengatakan "iya". Andai saja . . .

Kenangan berlanjut di hari paling menyedihkan, ketika musuh terbesarku muncul. Hari itu dia pergi dan takkan kembali, dia yang sudah aku anggap sebagai orang keduaku. Penyesalan terbesarku karena aku tak bisa menemaninya dalam kesakitannya. Aku tidak ada dihadapannya saat dia merintih kesakitan. Aku tak ada di dekatnya untuk mendengarnya.

Aku mengenang itu dengan deru air mata. Mengingat waktu yang selalu kuhabiskan denganmu. Waktu pelarianku, waktu segala musuhku datang, aku berlari kepadamu. Kutumpahan segalanya padamu dan kau siap untuk menampungnya. Kau selalu ada dari aku kecil hingga kau menghembuskan nafas terakhirku. Penyesalanku bukanlah saat bersamamu, tapi waktu tidak bersamamu. Andai waktu itu aku selalu disampingmu. Andai saja. . .

Benar saja, masa lalu takkan kembali, dan aku memang tidak akan meminta masa lalu itu kembali. Tangisanku ini, menyadarkan aku terhadap diriku sendiri. Memandang mata dalam cermin yang mulai berkaca-kaca dan siap mengeluarkan air mata.

Jari-jari mungil dan rapi terangkat dan menyapu air mata itu, mencoba menghilangkan tangisan yang mulai terisak itu. Mengingat kenangan penuh penyesalan itu, mengingatkanku akan musuh-musuhku, musuh yang ada pada diriku sendiri. Dan aku takkan masuk ke dalam permainannya lagi. Kali ini aku akan mengangis untuk diriku sendiri.

Pandangan mata itu menatap lurus lagi, menampakkan pandangan tajam dan penuh keyakinan. Aku senang dengan semua kebaikan yang kuterima, karena itu aku ingin menjadi lebih kuat. Aku merasa nostalgia. Aku menerima rasa sakit ini. Rasa sakit yang membuatku kuat.

Aku belajar menerima diriku sendiri, menerima rasa sakit dari kenangan itu, kenangan yang membuatku kuat. Kenangan yang membuatku memiliki keyakinan terhadap diriku sendiri. Aku mungkin akan menangis lagi karena kenangan yang akan aku buat di masa depan, tapi aku bersiap untuk mendapatkan kenangan baru itu dan menerimanya.

Dan hari ini aku mendapati diriku sendiri di depan cermin, menghadapi mimpi di depanku. Pilihan itu akan aku putuskan, menjadi seorang penulis dan menghadapi musuhku untuk mendapatkan satu langkah menjadi seorang penulis. Mimpi yang tinggal selangkah itu, akan aku wujudkan dengan penuh keyakinan dan keyakinan meski kadang kala tangisan datang.

Dan hari ini aku mendapati diriku di depan cermin melihat diriku yang baru di seberang cermin itu, tersenyum penuh kebanggaan. Meneriaki para musuhku, kemalasan bertahan, " aku siap menghadapi apa pun yang ada di depanku. " Ketakutan dalam memilih, " hei, aku memilih jalan ini dengan keyakinan tertinggiku". Penyesalan atas kesalahan, "Hei, aku akan menerima apa pun yang kulakukan, kesalahan itulah yang membuatku sukses." Tangisan adalah awal rasa sakitku untuk mendapatkan diriku yang sekarang, dan mungkin aku akan menangis lagi untuk mendapatkan diriku yang lebih baik.


Author : Ludia M.P
Project for : @YUI17Melodies   #MelodiHijauOranye  
Theme Song : YUI- Again
Keywords : tangis, awal, mimpi, kenangan, dan musuh

Comments

  1. Bagus loh! :3
    tema kedua nulis lagi yaaaa~

    ReplyDelete
    Replies
    1. diusahakan sekali,, klo sdang inspirasi nulis terus..

      Delete
  2. "Tangisan adalah awal rasa sakitku untuk mendapatkan diriku yang sekarang, dan mungkin aku akan menangis lagi untuk mendapatkan diriku yang lebih baik."

    Miris. :|

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

New Cover | Estuary (The Star Lily Lake)

↑ Full Version ↑ ↑ Front Cover Only ↑ More info: © photo to the artist Edited by M.P Use PhotoScape

Bangku Taman, 1 Juli

Jalan sepi yang lenggang itu, dengan paving abu-abu yang mulai berlubang. Jalan ini selalu tampak sepi, jarang ada orang yang melewatinya apalagi ketika hujan bahkan petugas kebersihan pun jarang membersihkan jalan ini. Tidak heran, jalan ini sepi karena terletak di bagian paling pojok sebuah taman. Daun-daun yang berserakan yang hampir tiga hari tidak dibersihkan. Meski jarang dilewati bagian taman ini sangat indah, terdapat pohon maple besar  di setiap sisi-sisi jalan, hamparan rumput hijau yang bersanding dengan berbagai macam bunga, seperti mawar, aster, gerbera, iris, dan lily. Ada juga sebuah sisi dengan deretan bunga matahari. Saat musim semi tiba, hijau dedaunan akan nampak sangat indah, daun yang bertebangan karena musim semi seperti hujan hijau yang tampak indah. Ketika malam tiba, dari taman bagian ini juga bisa melihat berbagai rasi bintang. Taman ini hanya diterangi beberapa lampu taman, sehingga cahaya bintang akan terlihat berkelip indah. Di bawah sebuah pohon mapl

Hal yang kusukai

Aku sangat menyukai langit cerah di malam hari Setelah hujan seharian. Hal itu mengingatku pada diriku saat kecil Yang masih sangat polos. Sekalipun hanya kata sederhana yang bisa kulontarkan "Indah" Tanpa perlu memikirkan masa depan Apa yang akan terjadi esok Apa kata orang Apa aku berhak hidup Hari ketika aku menangis seharian Dan langit malam itu sanggup membuatku tersenyum Namun itu juga mengingatkanku pada malam Saat aku bertanya pada diriku "Apakah ada dunia tanpa diriku?" "Akankah itu lebuh baik?" Aku merindukanmu bukan karena aku mencintaimu Aku merindukanmu karena kau mengingatkan diriku Yang dengan sederhananya melambaikan tangan padamu Untuk mengucapkan selamat tinggal pada masa terbaikku Ditulis tanggal 05 April 2019