Hari ini, aku melirik sepasang bangku dan meja di dekat jendela. Bangku dan jendela itu menyinarkan cahaya yang dipantulkan dari cahaya matahari yang menembus kaca jendela. Terletak di sebuah cafe yang menjual teh kesukaanku dan kopi kesukaanmu. Cahaya itu seakaan memantulkan bayanganmu yang sedang duduk tertunduk, seperti masuk dalam buku yang sedang kau baca hingga tak mempedulikan sekitarmu.
Aku terpaku dengan silaunya cahaya itu, meski sedikit menyakitkan mata, aku tetap meliriknya. Saat kau berada di sana, bayangan samarmu itu membuatku sedikit menyipitkan mata karena cahaya, sekarang bayanganmu yang tak pernah jelas lagi membuatku pandanganku kabur.
Buku yang kau baca dan segelas kopi yang selalu kau pesan, adalah dunia yang mengikatmu. Terpusat pada sebuah cerita yang kau bacakan. Hingga halaman terakhir sebuah bab, kau menengok kopimu yang ternyata sudah dingin. Sebuah ekspresi yang belum pernah kulihat sebelumnya, wajah kecewamu yang bewarna oranye karena senja sore yang menembus kaca itu.
Kaca yang memantulkan bayanganmu, kaca jendela yang selalu kau pandangi itu. Saat matamu lelah dan kau ingin merenggangkan badan, kau menyangga dagumu dan memandang bayangan di luar kaca. Aku menatap mata yang terpantul di kaca itu dan menyadari bahwa kau sedang tidak memandangi jalan di luar jendela. Kau tenggelam dalam matamu sendiri. Seperti banyak pikiran yang berkelebat dalam mata itu, silih berganti tak tentu. Aku tak tahu apa yang kau pikirkan, apa mungkin kau berpikir tentang buku yang sedang kau baca, atau kau sedang termenenung dengan jalan hidupmu.
Mata itu begitu terfokus dengan yang sedang kau pikirkan, hingga kau tak menyadari bahwa aku menatap mata itu secara langsung. Aku yang terpaku dengan mata di balik kaca mata itu mulai terpikat. Wajahku mulai memerah dan aku malu dengan apa yang sedang kupikirkan. Lalu aku menatap teh cinnamon di depanku yang masih mengepulkan asap panas, wajahku ikut panas. Aku mulai mengalihkan perhatianku pada hal lain, tapi itu sangat sulit. Akhirnya, hampir tiap minggu aku datang di tempat yang sama, waktu yang sama, hanya untuk melihatmu di sana.
Suatu hari, aku tidak melihatmu di tempat yang selalu kau berada. Dengan wajah sedikit kecewa, aku akan beranjak saat aku menjatuhkan bukuku. Aku yang akan mengambilnya terpaku dengan tangan yang mengambilkan bukuku itu. Hanya menelan ludah untuk mengatasi rasa gugupku. “Terima kasih,” kataku dengan lirih, mungkin dia tidak mendengarnya. Tapi dia tersenyum kecil untuk menerima ucapan terima kasihku. Senyuman pertama yang kau berikan padaku itu, takkan pernah terlupakan. Kau menatap buku yang baru saja kau pungut itu dengan kilatan sinar matamu. Satu lagi ekspresi yang kutemukan di dirimu, dan aku senang.
Buku itu adalah pemberian dari nenekku. Pagi ini aku baru mendapatkannya untuk ucapan terima kasih padaku dari nenek karena aku telah membantunya menata ruang tamunya. Sebagai mahasiswi desain interior, jelaslah aku sangat suka mendesain ruangan nenekku secara gratis. Sebenarnya aku sangat suka konsep cafe ini, tea, coffe, and cake tree. Desain cafe ini bernuansa nyaman, dengan dominasi warna coklat dan hitam, beberapa bunga cantik bertengger di pojok-pojok cafe, kaca jendela bening, atap yang dihiasi ukiran daun coklat, lalu terdapat sebuah pohon buatan yang terletak di tengah cafe, dan dilengkapi daun-daun yang digantung, tampak seperti sedang duduk di bawah pohon yang sedang berguguran, mengingatkanku pada rumah nenekku.
Kembali pada buku yang diberikan nenek, buku itu merupakan buku lama yang bercerita tentang novel detektif. Aku belum mebacanya hanya membaca sinopsi di bagian belakang buku, tapi buku itu memang terlihat menarik.
“Ah, novel ini punyamu?” kata yang keluar dari mulutmu membuatku kaget sehingga aku membeku sesaat.
“Iya,” jawabku singkat.
“Hmmm,” dia bergumam ragu-ragu, tapi memiliki keinginan kuat tentang sesuatu.
“Apa kau ingin membacanya?” tanyaku memberanikan diri.
Raut mukanya berubah sangat gembira, ekspresi yang menyatakan “iya, aku mau” tapi tidak bisa dikatakan.
“Aku akan meminjamkannya padamu, setelah aku membacanya. Bagaimana?”
“Benarkah?” sedikit kaget tapi senang. Terlihat manis.
Aku hanya membalasnya dengan anggukan kecil, meyakinkan dirinya tentang tawaranku.
“Kalau begitu, bagaimana aku menghubungimu?” sedikit memikirkan kalimat selanjutnya,”Boleh aku meminta nomer ponselmu?”
Dengan tersenyum sumringah, semoga itu tidak terlihat jelas, aku mengangguk dan mulai mendektekan nomer poselku. Hari itu, aku melihat berbagai ekspresi darimu, membuat pikiranku kosong dan hanya terbayang setiap ekspresi itu. Saat itu, aku menunggu satu sms darimu, bahkan saat membaca buku itu pun aku tidak konsentrasi.
Seminggu kemudian aku mendapatkan sebuah sms darimu.
08**********: halo Risa kau sdah membacanya? Aku Eza yg di cafe itu.
Akhirnya di sms, langsung aku membalas, benar saja, saat meminta telepon aku lupa menanyakan namanya. Bodohnya aku.
Me : tentu.
Eza : klau bgtu ak bsa meminjamnya?
Me : yupz.
Eza : bagmna aku mengambilnya?
Me : di cafe biasanya sja jam 4 sore. Bisa?
Eza : siap.
Dari jawabannya dia terlihat bersemangat. Keesokan harinya dia datang menemuiku, dalam waktu tiga hari dia sudah membacanya, lalu kami bertemu lagi. Kami membicarakan isi cerita dalam buku itu, begitu asyiknya aku lupa dengan kegugupan yang biasanya. Sejak itu aku tidak memandang jendela kaca itu, karena cahaya itu sekarang sedang duduk di depanku.Ayo menulis~~
Comments
Post a Comment